Rabu, 10 Maret 2010

berikut ini adalah hasil simposium nasional pendidikan BEM FISIP UI tahun 2009 yang sangat JELAS MENOLAK UU BHP yang saat ini telah memasuki judicial review Mahkamah Konstitusi dan keputusannya akhir maret ini.

mohon dukungannya ni gan,
UU BHP itu membuat pendidikan kita menjadi mahal, bayangin aja gan, dengan uu itu, pendidikan kita jadi barang dagangan, institusi pendidikan uda kaya koorporasi aja,
sedangkan masih banyak rakyat Indonesia mengalami kesulitan ekonomi,
nanti makin banyak aja rakyat yang gga bisa sekolah..
kalo uda gitu gimana gan? generasi depan bangsa ini mau dikemanain?

mohon dukungannya yaa gan

di group facebook nya ni gan
ane dari BEM FISIP UI 2010 ngebuat group Facebook "Sejuta Facebookers Tolak BHP"
join yaa gan
ni link nya:

http://www.facebook.com/group.php?gi...5281166&ref=ts

hasil simposium nya ni gan !!!

DEKLARASI HASIL SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN
BEM FISIP UNIVERSITAS INDONESIA BERSAMA ELEMEN-ELEMEN PEDULI PENDIDIKAN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2009-2014 dengan ini menyatakan bahwa kami bersedia menjadikan keputusan rekomendasi kebijakan pendidikan yang dihasilkan SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN dengan tema “Membangun Visi Pendidikan Indonesia” sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan pendidikan Indonesia yang diselenggarakan oleh BEM FISIP UI 2009 dan disusun dengan melibatkan elemen – elemen pendidikan yaitu: PGRI, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Ahli Pendidikan, Dosen – dosen UI, perwakilan mahasiswa UI, perwakilan mahasiswa UNDIP, perwakilan mahasiswa UGM, perwakilan mahasiswa UNJ, perwakilan mahasiswa USU, dan perwakilan LSM pendidikan (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal). Adapun rekomendasi kebijakan pendidikan ini diputuskan pada 10 Oktober 2009 di Balai Sidang BNI Universitas Indonesia, Depok.

Depok, 10 Oktober 2009
Anggota DPR RI Periode 2009-2014,
Harun Al Rasyid Sukur H. Nababan



HASIL KEPUTUSAN SIDANG PLENO
SIMPOSIUM NASIONAL PENDIDIKAN

Covenant Ecosoc harus direalisasikan dengan implementasi di dalam kebijakan-kebijakan pendidikan. Berlandaskan pengembangan kemampuan dan membentuk watak serta membangun peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Pancasila dan UUD 1945
REKOMENDASI

Jangka Pendek
1. Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
a. Mewujudkan anggaran pendidikan 20 % di luar gaji guru dan sekolah kedinasan. Gaji guru dimasukkan ke belanja rutin pemerintah
b. Peningkatan fasilitas pendidikan
c. Optimalisasi anggaran untuk pendidikan khusus/ inklusi/SLB
d. Anggaran pendidikan murni untuk diknas
e. Memperhatikan akses pemerataan, sinergitas antara pusat dan daerah
f. Menyusun skala prioritas pengeluaran APBN yang berorientasi kepada kepentingan publik
g. Mengalokasikan anggaran pendidikan untuk seluruh pendidikan alternatif
2. Ujian Nasional (UN) tidak dijadikan penentuan kelulusan, akan tetapi dijadikan sebagai standar evaluasi dan pemetaan mutu pendidikan.
3. Evaluasi terhadap menajemen pendidikan :
a. Pengawasan terhadap instansi pendidikan
b. Akses pendidikan di semua jenjang pendidikan harus terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat sebagai upaya pemerataan kualitas SDM bangsa Indonesia
c. Hapus kartu keluarga dan akte kelahiran sebagai syarat masuk pendidikan dasar
d. Output pendidikan diarahkan untuk pembentukan karakter nasional
e. Menyusun data demografis pendidikan yang lengkap dan valid
4. Cabut Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) termasuk merevisi Pasal 53 UU no.20 tahun 2003 ( UU Sisdiknas)
5. Mewujudkan good governance di lembaga pendidikan
6. Mempertimbangkan kembali standardisasi kurikulum nasional khususnya untuk memberdayakan kurikulum tingkat satuan pendidikan
7. Peningkatan kualitas SDM tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya untuk guru pendidikan khusus/SLB/inklusi
8. Mengangkat guru honorer menjadi PNS sesuai kebutuhan sekolah negeri dan menerapkan sistem penggolongan di sekolah swasta
9. Mengadakan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan pendidikan dengan memberdayakan lembaga yang sudah ada
10. Revisi UU Sisdiknas mengenai pengertian pendidikan dasar

Jangka Panjang
1. Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan
2. Peningkatan kesejahteraan guru berupa jaminan hari tua dan rumah
3. Wajib belajar 12 tahun
4. Klasifikasi guru hanya terdiri dari guru PNS dan guru swasta

Rekomendasi ini disusun dan disepakati dalam Simposium Nasional Pendidikan
Depok, 10 Oktober 2009,
Atas Nama,
(PGRI) (FGII) (Ahli Pendidikan)
(Dosen FISIP UI) (BEM UI ) ( BEM FEB UGM)
(BEM FH UNDIP) (PEMA PSIKOLOGI USU) (LAPAM)

HIDUP INDONESIA

Minggu, 21 Februari 2010

Peran Mahasiswa dalam Pembangunan Negara
Oleh Muhamad Affin Bahtiar, Kriminologi, 0906561276



Banyak diantara kita memandang gerakan mahasiswa hanya sebatas aksi turun kejalan, dan parahnya aksi turun kejalan hanya dianggap sebagai sumber bencana dan kerusuhan. Sebenarnya apa itu gerakan mahasiswa? Definisi dari gerakan mahasiswa adalah kegiatan melawan atau mangkritisi suatu keputusan atau hal-hal yang pada pemikiran mahasiswa dianggap menyudutkan atau bahkan menyengsarakan rakyat Indonesia terutama kaum marginal yang sepatutnya dilindungi. Tujuan dari gerakan itu sendiri supaya mahasiswa ikut mempengaruhi kebijakan dengan latar belakang intelektual serta idealisme muda yang masih membara agar tidak semakin menyudutkan masyarakat Indonesia. Sebagai mahasiswa awam, mempertanyakan pergerakan mahasiswa sangatlah lumrah terlontar ketika mereka benar-benar ingin terjun kedalam dunia pergerakan dan mengabdi untuk rakyat Indonesia. Lalu dimana mahasiswa awam lainnya? Bukan rahasia pribadi lagi bahwa banyak mahasiswa yang tidak memiliki rasa peduli terhadap keadaan bangsa ini, terutama kepedulian terhadap rakyat marginal. Aphatisme seperti telah mengakar dalam setiap pemikiran mereka yang nantinya mempengaruhi dalam berpolah tingkah.


Jika kita ingin berpikiran kritis dan sedikit keluar dari pemikiran-pemikiran rutinitas yang masuk dalam zona aman kita, bisa dikatakan bahwa mahasiswa jaman sekarang memang “diatur” agar tidak banyak mengeluarkan “pemikiran-pemikiran cerdas mereka” dengan dialihkan pemikirannya untuk memenuhi segala tuntutan dari kebutuhan akademis. Dengan batas waktu kelulusan kuliah yang diberikan, dengan tugas-tugas menumpuk yang harus segera dikumpulkan, mahasiswa “dipaksa” untuk memeras otak mereka demi kepentingan akademis. Tidak ada yang salah dengan hal itu, namun bandingkan dengan pergerakan pada angakatan ’66 atau pada reformasi ’98 dengan keadaan dimana mahasiswa “dibungkam” dan diwajibkan patuh pada rezim diktator, mereka masih saja memiliki semangat pergerakan yang sangat membara. Apakah kesalahan kita adalah pada pergerakan itu sendiri yang semakin tidak menunjukkan esensinya sehingga mahasiswa semakin tidak perduli terhadap isu-isu nasional maupun isu-isu lokal yang ada? Ataukah diri kita yang malas dan lebih memilih mengejar IPK 4 dan lulus 3,5 tahun daripada untuk “meluangkan waktu” yang kita tahu hal itu tidak akan terlalu mengganggu sepak terjang kehidupan akademis kita dan hal itu akan sangat sebanding rasanya ketika masyarakat kita sejahtera. Dalam membela kepentingan rakyat Indonesia, jika kita kerucutkan ternyata mahasiswa sebagai kaum terpelajar merupakan anak yang terlahir langsung dari rahim rakyat. Jika memang seperti itu, melihat keadaan pada saat ini berarti sungguh durhaka kita sebagai mahasiswa.


Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat dua faktor yang menyebabkan banyaknya pihak yang tidak perduli terhadap gerakan mahasiswa, karena model pergerakan sendiri secara general atau dari masing-masing pribadi individu. Model gerakan disini yang dimaksud adalah pergerakan mahasiswa kini telah kehilangan esensinya. Ada anggapan mengenai hal ini, pergerakan pada saat ini masih menggunakan pergerakan yang konvensional dan cenderung tidak sadar terhadap perubahan jaman atau dapat kita katakan bahwa kita belum habisnya merasakan uforia reformasi ’98 yang kita tahu bahwa keadaan sangatlah dinamis dan kita tidak bisa menyamakan dengan keadaan pada waktu yang lampau. Ideologi nasional saja sudah berbeda, ada rezim otoriter pada masa orde baru sehingga sebuah aksi massa itu terlihat sangat “tidak lazim” dalam kehidupan yang serba membungkam. Hal itu sangat bertolak belakang dengan saat ini, banyak masyarakat yang menilai pergerakan mahasiswa sekarang hanya sebatas acara seremonial belaka, sebagai “bumbu” demokrasi di Indonesia. Mungkin juga karena pada saat sekarang, kenyataannya belum ada langkah konkrit yang kita lakukan untuk Indonesia yang dapat dirasakan rakyat Indoneisa secara signifikan. Selain hal tersebut apakah kita tahu bahwa pergerakan yang kita lakukan ternyata telah melupakan hal terpenting dari perjuangan itu sendiri, kecenderungan mahasiswa pada saat ini sangat bersemangat untuk membicarakan masalah isu-isu pada tingkat nasional dan alangkah meruginya kita ketika membuka pintu rumah, siap untuk menggembar-gemborkan tentang segala isu penting negara dan ternyata kita tidak pernah memperhatikan bahwa tetangga rumah kita sendiri masih ada yang membutuhkan kecerdasan dan intelektualitas kita, kaum yang sangat dekat dengan keseharian kita. Maksud dari hal ini bahwa walaupun isu-isu nasional itu sangat penting dan mendesak tapi jangan pernah melupakan isu-isu kehidupan rakyat lokal yang ternyata masih sangat termarginalkan.


Pembangunan nasional sangat erat kaitannya dengan peran mahasiswa. Sejauh ini ada tiga pokok peran mahasiswa yang “seharusnya” disadari oleh semua masyarakat civitas akademika, yaitu : Agent of change, Iron stock, Social force. Sebagai masyarakat yang memiliki pendidikan lebih dari masyarakat yang lain, mahasiswa dituntut menjadi seorang agen perubahan, atau bisa kita katakan sebagai pembuat perubahan. Ketika suatu kebijakan dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD ’45 sebagai pembuat kesejahteraan masyarakat, maka mahasiswa harus mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan sesuai dengan apa yang menjadi bahan resolusi tandingan dari suatu konsep isu yang telah dikaji dan didiskusikan secara matang baik dari dampak positif maupun negatifnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pergerakan bukanlah suatu tindakan tergesa-gesa yang selalu mempermasalahkan pemerintahan saja dan kadang terkesan selalu menjadi pihak oposisi. Namun sebagaimana diketahui, kita bergerak dengan cerdas, kita mempunyai bahan untuk dipertanggung jawabkan dalam pergerakan itu sendiri karena sudah tidak jamannya ketika mahasiswa hanya memaparkan suatu konsep saja tanpa ada solusi yang jelas. Hal ini sangat terkait dengan tugas mahasiswa dalam mengawal dan mengontrol pemerintahan dan kaum birokrat agar sesuai dengan jalan yang seharusnya dilalui.


Dalam berbagai kesempatan dalam pidatonya, Bung Karno sering menggambarkan tentang potensialnya mahasiswa, sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Pidato tersebut menggambarkan betapa berbahayanya kita ketika mau melakukan pergerakan. Kita adalah cadangan bangsa ini, ketika bangsa membutuhkan mahasiswa karena kehabisan harapan dalam memperjuangkan keadilan dan berbagai hak-hak, kita sebagai mahasiswa yang selayaknya maju membantu untuk mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan. Hal ini bukan berarti bahwa mahasiswa mengikrarkan diri berada dalam strata kaum eksklusif yang selalu bergaya memperjuangkan segala hal normatif secara sendiri. Bukan hanya harapan namun kenyataan yang diperjuangkan. Pendidikan serta intelektualitas yang didapat ini adalah untuk merangkul dan menyadarkan rakyat indonesia yang lainnya agar tetap peduli dan mengajak untuk berjuang bersama-sama, dalam hal ini stereotipe yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah kaum ekslusif yang berjuang sendiri itu adalah salah.


Ada beberapa solusi menyikapi berbagai masalah yang sedang terjadi dalam pergerakan mahasiswa, hal itu adalah :

1. Diadakan pergerakan-pergerakan yang elegan serta cerdas. Cerdas disini bukan dimaksudkan kepada hal-hal yang anarkis, sebagai contoh adalah bagaimana cara yang taktis untuk menumbangkan petugas pengawal seperti polisi, namun yang dimaksud adalah kita bergerak secara komunikatif. Yang paling penting dalam pergerakan itu sendiri adalah bagaimana pesan yang kita kirimkan dapat sampai dan menarik untuk diperhatikan. Dalam hal ini kita harus memperjuangkan adanya kemenangan media.

2. Menyadarkan dan menginfiltrasi nilai-nilai semangat cinta tanah air dan kepedulian terhadap bangsa sendiri kepada mahasiswa-mahasiswa agar terkuranginya rasa apathisme. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar, sounding isu-isu secara masif dengan berbagai media propaganda yang kreatif, dan masih banyak cara untuk menyadarkan mahasiswa lain selama kita sebagai pelaku penyadar harus mau bekerja sedikit lebih keras.

3. “Satu lidi akan lebih lemah dibandingkan dengan sapu lidi.” Maksudnya adalah walaupun pergerakan mahasiswa itu bersifat prular dan memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda terhadap suatu isu, namun sangat perlu menyamakan tujuan dan kepentingan semata-mata untuk rakyat Indonesia. Dan mahasiswapun wajib untuk merangkul dan mengajak semua elemen masyarakat dari kaum birokrat sampai pada grass-root untuk bersama-sama membangun Indonesia menjadi lebih baik. Sekali sebagai dasar pergerakan bahwa tujuan dan kepentingan yang ada semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan bebas dari boncengan kepentingan lain. Pergerakan adalah INDEPENDEN.
Itulah sedikit potret yang menggambarkan tentang keadaan pergerakan mahasiswa pada saat sekarang ini. Betapa ironisnya ketika kita lihat bahwa masih banyak mahasiswa yang belum sadar akan pentingnya pergerakan dalam pembangunan nasional. Namun harapan pasti ada, tidak ada kata menyerah untuk berjuang menjadi lebih baik. Dan independensi dalam bergerak, keteguhan prinsip itulah yang masih jadi senjata untuk berjuang.

“ Katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih..
Tuk kebenaran dan keadilan menjunjung totalitas perjuangan..”


Mari kita bangun Indonesia bersama-sama menjadi lebih baik. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang peduli terhadap permasalahan bangsa ini.


HIDUP MAHASISWA!!


HIDUP RAKYAT INDONESIA !!

Muhamad Affin Bahtiar
Staff Kajian dan Aksi Strategis
BEM FISIP UI 2010

Kamis, 28 Januari 2010

masa lalu... sebuah kepahitan atau sebuah kebahagiaan?
mungkin keduanya....

ritual yang selalu dilakukan....
menangis..mengingat...dan mengharap...
ini kesia-siaan..tapi entah kenapa selalu terasa nikmat...
atau...tidak nikmat?
mungkinkah ini kebodohan?

ketika berjalan...mungkin berlari...
apakah tidak boleh kita melihat kebelakang??
apakah takkan mencapai pada tujuan??

mungkinkah tak ada orang yang sampai pada tujuan walau dia melihat ke belakang...
atau mungkin dengan menikmati pemandangan dibelakang??

keputusan...
tak terucappun sebuah kata...
apa yang akan dilakukan dan yang akan terjadi...

hanya ini...
ya...hanya ini...
hanya.............ini.................

Kamis, 14 Januari 2010

White Collar Crime di Bank Century

Nama : Muhamad Affin Bahtiar
NPM : 0906561276
Departemen : Kriminologi

Kasus Bank Century = Hal Kecil yang Dibesar-besarkan


Sudah tak asing lagi ditelinga kita tentang pemerintahan negara Indonesia yang demokratis dan transparan, bersih dari rezim orde baru yang otoriter. Benarkah hal tersebut? Sudah berhasilkan proses demokratisasi yang ada dalam sistem pemerintahan negara Indonesia? pertanyaan-pertanyaan tersebut seiring berjalannya waktu mulai terakumulasi dan mencuat untuk mendapatkan kebenaran yang sakhih. Gejolak tersebut muncul karena adanya perbedaan antara konsep demokratis dan kenyataan yang ada. Tingginya tingkat korupsi yang ada, kurangnya ketegasan hukum, merupakan indikasi-indikasi ketidakberhasilan proses demokratisasi di negara ini.
Salah satu kasus korupsi yang cukup berpengaruh terhadap beberapa aspek kehidupan dan sedang ramai diperbincangkan oleh berbagai tokoh adalah tentang kasus Bank Century. Kasus tersebut dimulai ketika
BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menentapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kemudian Bank Century diambil alih oleh LPS, Robert Tantular sebagai salah satu pemegang saham bank tersebut dicekal karena tindakannya menggelapkan uang dari investor antaboga. Bank Century mengalami kerugian yang cukup besar, melihat hal tersebut LPS memberikan dana talangan dengan total 6,7 trilliun rupiah. Suntikan dana yang sangat besar menilik Bank Century merupakan bank yang tidak terlalu besar dan tidak akan berdampak buruk terhadap ekonomi negara ketika bank tersebut mengalami likuiditas dan ditutup. Dengan adanya dana talangan yang tidak sedikit tersebut dan dengan pengaruh Bank Century yang terbatas, parlemenpun mulai mencium ketidakwajaran dalam proses pentalangan dana tersebut. Ketidakwajaran itupun diperkuat ketika melihat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengucurkan dana sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century atas rekomendasi pemerintah dan Bank Indonesia. Padahal, dana yang disetujui DPR hanya sebesar Rp1,3 triliun. Ada apa sebenarnya? Itulah yang masih menjadi opini publik yang belum mendapatkan kebenaran yang sepasti-pastinya.


Isu bailout itu juga diperkuat ketika wakil presiden keenam, bapak Jusuf Kalla menyatakan bahwa dia sama sekali tidak mendapatkan laporan oleh Sri Mulyani ketika kebijakan tersebut diambil. Adalah aneh, seorang wakil presiden yang selama ini dikenal sebagai driving force dalam kebijakan ekonomi tidak mengetahui dan tidak dilapori. Ketidaktahuan Wapres menjadi bukti bahwa transparansi menjadi persoalan serius yang harus dituntaskan dalam kasus bailout ini. White Collar Crime yang ada dalam kasus Century, Robert Tantular dalam hal ini terkesan dilindungi oleh Boediono dan Sri Mulyani. Mereka tidak pernah menganggap bahwa kasus Bank Century merupakan tindakan kriminal seperti yang dilontarkan oleh Wapres JK. Hal ini dapat diketahui terkait aliran dana tersebut disinyalir dibelokkan untuk dana kampanye Pileg Demokrat dan Pilpres SBY-Boediono.
Rakyat Indonesia merasa dikhianati oleh kasus-kasus yang terjadi dalam polah tingkah pemerintahan yang ada. Mahasiswa sebagai agen intelektual dan kritis serta dukungan dari rakyat Indonesia mulai menyuarakan kekecewaan-kekecewaan atas apa yang terjadi. Mereka tidak mau uang rakyat dijarah dengan mengatasnamakan risiko sistemik yang pada praktiknya hanya menguntungkan para deposan besar. Bukankah rakyat Indonesia sudah cukup puas merasakan kesakitan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama ini yang terkadang tidak adil untuk mereka? Masihkah mereka harus menanggung kerugian-kerugian atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pihak “atas” dan bahkan mereka sendiri sama sekali tidak pernah merasakan keuntungan dari tindakan para pejabat tersebut. Melihat keadaan ini, penurunan jabatan untuk pihak yang terkait dan sanksi tegas yang setimpal patut diperjuangkan oleh rakyat indonesia sebagai faktor penggentar-jeraan terhadap pihak-pihak lain yang mungkin ingin mengikuti tingkah mereka, dan pemerintah sendiri ketika mengaku bersistem demokrasi seharusnya mendengarkan jeritan rakyat Indonesia yang haus akan kebenaran dan keadilan. Usut tuntas kasus Bank century.